Senin, 24 Agustus 2009

MAKALAH PSIKOLOGI UMUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
konsep adolesen belum digunakan untuk menunjukkan suatu periode tertentu dari kehidupan manusia. Pada masa adolesen ini tejadi proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisis, yang berlangsung secara berangsur-angsur dan teratur.
Masa ini merupakan kunci penutup dari perkembangan anak. Pada periode ini anak muda banyak melakukan introspeksi (mawas diri) dan merenungi diri sendiri. Akhirnya anak bisa menemukan aku-nya.Dalam artinya dia mampu menemukan keseimbangan dan harmoni atau keselarasan baru diantara sikap kedalam diri sendiri dengan sikap kuluar..
B.     RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian tentang masa adolesen ?
2.         Bagaimana perkembangan biologis pada masa adolesen ?
3.         Bagaimana perkembangan psikologis pada masa adolesen ?
4.         Bagaimana ciri-ciri pada masa adolesen ?
C.    TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud diwujudkannya ilmu psikologi adalah untuk mempermudah mengetahui perkembangan remaja dan seluk beluknya..






BAB II
MASA ADOLESEN
A.    Pengertian Masa Adolesen
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescereyang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. (Hurlock,1990, p.206). Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung(dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
B.     Perkembangan Biologis Pada Masa Adolesen
Menurut Michaelis, pada awal adolesen seseorang mengalami perkembangan jasmani yang sangat pesat karena organ-organ pada tubuh pada waktu itu sedang mampu-mampunya mengatasi gangguan apa saja yang didorong oleh perkembangan kelenjar jenis.
Dalam hal perkembangan seksual, gadis-gadis mengalami kematangan lebih awal daripada seorang pemuda yang sebaya umumnya. Dalam hal perkembangan jasmani , lebih dahulu pemuda mengalami pertumbuhan jasmaniah.
Perubahan proporsi tubuh pada daerah-daerah tubuh yang tadinya terlampau kecil, sekarang menjadi terlampau besar karena kematangan tercapai lebih cepat di daerah-daerah tubuh yang lain. Ini tampak jelas pada hidung, kaki, dan tangan.Perkembangan yang lain adalah menyangkut perkembangan seksual. Pertumbuhan organ-organ genital yang ada baik di dalam maupun di luar badan sangat menentukan bagi perkembangan tingkah laku seksual selanjutnya.
Secara biologis, manusia terbagi atas dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Dimana kematangan seks dicapai selama masa adolesen ini, dan daya tarik seks menjadi suatu kebutuhan yang dominan dalam kehidupan individu, serta dalam hubungan social yang dipengaruhi oleh kematangan fisik yang telah dicapai. Dan gadis fisiknya lebih lemah dibandingkan dengan fisik pemuda, dimana gadis memperoleh kekuatan yang lain disamping ia kehilngan kekuatan lainnya. Dan penampilan gadis menjadi lebih menarik dilihat oleh pria.
C.    Perkembangan Psikologis Pada Masa Adolesen
Dalam perspektif psikologis, dimana seorang tokoh yaitu Erik H. Erikson, berpendapat bahwa remaja bukan sebagai konsolidasi kepribadian, tetapi sebagai tahapan penting dalam siklus kehidupa. Masa remaja berkaitan erat dengan perkembangan “sence of identity us role confusion” , yaitu perasaan atau kesadaran akan jati dirinya.
Apabila remaja berhasil memahami dirinya, peran-perannya, dan makna hidup beragama, maka dia akan menemukan jati dirinya, dalam arti dia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya apabila ia gagal, maka dia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingungan ini berdampak kurang baik bagi remaja, dia cenderung kurang dapat menyesuaikan dirinya, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Pada ranah psikologis, dalam kelompok sejenis mereka belajar untuk bertingkah laku sebagai orang dewasa. Dalam kelompok jenis kelamin lain mereka belajar menguasai keterampilan social, dan sebaginya, misalnya kemahoiran berbicara, mengorganisasikan kegiatan social, dan sebagainya. Gadis lebih cepat matang dari pada teman pemudanya, dan lebih cenderung tertarik kepada pemuda yang usianya beberapa tahun di atasnya. Keadaan itu akan berlangsung sampai mereka kuliah di perguruan tinggi..
D.    Ciri-ciri Pada Masa Adolesen
Masa ini sebenarnya sudah tidak begitu menarik untuk dibahas, kerena masa ini sudah tidak lagi banyak keistemewaan yang menonjol, maka sudah mulai tenang kejiwaannya, sebagai persiapan kehidupan pada masa dewasa. Adapun batas masa adoleson ini sebenarnya masa banyak pendapat yang saling berbeda, tetapi untuk sekadar pedoman umum serta berdasarkan pada gejala-gejala kejiwaan yang paling tipikal adalah antara lain 18;0 – 21;0 tahun.
Adapun ciri-ciri atau sifat pada masa adolesen maka sikap pada umumnya, ialah bahwa ia mulai dapat:
1.        Menemukan pribadinya
2.        Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ia mulai dapat membawakan dirinya masuk kedalam masyarakat.
3.        Menentukan cita-citanya
4.        Menggariskan jalan hidupnya
5.        Bertanggung jawab
6.        Menghimpun norma-norma sendiri







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescereyang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Sikap remaja dalam hal perkawinan sangat bervariasi, dimana segolongan remaja menunjukkan sikap bahwa pekawinan itu sebagai kebahagiaan hidup, sedangkan yang sebagian lagi mereka takut memasuki perkawinan.Timbulnya sikap takut itu karena dipengaruhi oleh suasana kehidupan di lingkungan keluarganya. Pada umumnya, remaja yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang harmonis membayangkan perkawinan itu sebagai sesuatu yang membahagiakan. Sedangkan remaja yang dibesarkan di lingkungan keluarga broken home , membayangkan perkawinan itu seperti suasana yang tampak di lingkungan rumah tangganya (tidak bahagia).
B.     SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari masyarakat pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.






DAFATAR PUSTAKA
Sarwono Sarwinto Wirawan,Drs Pengantar Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta. 1926.
Darajat Zakiah, 1995, Remaja Harapan dan Tantangan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Hur lock Elizabeth, 1999, Psikologis Perkembangan, Jakarta: Erlangga
Syamsu Yusuf, 2004, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.





Selasa, 11 Agustus 2009

MAKALAH KWN


BAB I
PENDAHULUAN

Pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks  keindonesiaan dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu.
Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.



BAB II
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MENJADI  LOKOMOTIF

Mometum Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik  yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia pascakemerdekaan.
Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks  keindonesiaan dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalismeIndonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi. Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa. Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah Sehingga muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah nasionalisme yang lebih baik.
Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan
sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.
Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan.
Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa, termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.























BAB III
PENUTUP
A      KESIMPULAN
Mometum Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik  yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad,Drs,H, Kewarganegaraan, CV Pustaka Setia, Bandung. 2000
Suparta, Munzier, Kebangkitan Nasionalisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo, persada.2002
           








Minggu, 09 Agustus 2009

MAKALAH ASWAJA


BAB I
PENDAHULUAN
A      LATAR BELAKANG
Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka.
B       RUMUSAN MASALAH
A.    Sejarah Khawarij.
B.     Idiologi Khawarij.
C      TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud dan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mempermudah memahami sejarah golongan khawarij.



BAB III
KHAWARIJ
A.    Sejarah Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, ‘AliOsEdah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh. Tetapi setelah ‘Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang ‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang ‘Ali.
Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus ‘Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, ‘Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.
Dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti.
Benar saja, segera saja sebagian pengikut ‘Ali menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah. ‘Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. ‘Ali megatakan; “’Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, ‘Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan ‘Ali mereka menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya?” ‘Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.” Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’– salah satu unsur koalisi pasukan ‘Ali–mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap ‘Utsman.
Setelah ‘Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus ‘Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak ‘Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa ‘Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada ‘Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara ‘Ali menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi ‘Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.
Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.
Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan ‘Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amru ibn ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kampumg ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
B.     Idiologi Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’ dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini.
‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.

B.     SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari semua mahasiswa dan dosen yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan hadits demi terwujudnya implimentasi dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
·         Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975.
·         Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.
·         Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.
·         Ghazaly, ‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.