BAB I
PENDAHULUAN
A
LATAR BELAKANG
Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin
membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah
mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa
yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan
mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi
meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur
setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di
Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi.
Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini,
sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam
yang tidak mendukung pendapat mereka.
B
RUMUSAN MASALAH
A. Sejarah Khawarij.
B. Idiologi Khawarij.
C
TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud dan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk
mempermudah memahami sejarah golongan khawarij.
BAB III
KHAWARIJ
A. Sejarah
Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir
al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana
berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan
keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan
Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua
alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena
ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya
sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, ‘AliOsEdah mengirim Jarir ibn Abdillah
al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil
mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi
oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap
para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran
diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih
khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk
menuntut balas atas kematian ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya
memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau
memang mereka siap mati membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka
lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh. Tetapi setelah ‘Ali mencapai
kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang
‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri
mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria
menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang
‘Ali.
Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus ‘Ali mengirim
kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi,
‘Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah
at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun
juga berakhir dengan kegagalan.
Dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru
ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan
mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon
perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim
besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu
dalam kitab mereka masing-masing. Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada
Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh
yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga
tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu
peperangan dapat berhenti.
Benar saja, segera saja sebagian pengikut ‘Ali menyerukan untuk
menerima tawaran Mu’awiyah. ‘Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu
hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. ‘Ali megatakan; “’Ibâdallah,
teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh,
karena Mu’awiyah, ‘Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak
bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal
mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai
dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta
bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf
itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan ‘Ali mereka
menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak
menerimanya?” ‘Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka
tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah
dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.”
Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa
tokoh lain dari kelompok Al-Qura’– salah satu unsur koalisi pasukan
‘Ali–mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah
mereka lakukan terhadap ‘Utsman.
Setelah ‘Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn
Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang
diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya.
Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di
dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan
mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan
Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan
Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat
mengutus ‘Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak ‘Ali sekali
lagi kelompok yang tadi memaksa ‘Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka
kepada ‘Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara ‘Ali menginginkan
‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi ‘Ali terpaksa mengalah
kepada keinginan mereka.
Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar
enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat
diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga
memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga
tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru
meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak
dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru
membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau
melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat
Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai
Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita
copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui
pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui
Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi
Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.
Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu
mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru
kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak
mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu
seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga
meyakini kelicikan bahkan kecurangan ‘Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi
menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu
berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amru ibn ‘Ash
mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari,
tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka
meninggalkan kampumg ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang
tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk
pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura
inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab
ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu
‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari
Khâriji (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang
keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia
keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada
masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis
Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama
Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti
yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi
memisahkan diri ke Harura.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali
menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju
Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada
yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke
daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang
pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran
Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan
orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar
di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi
korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya
terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi
fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah
mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40
H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk
menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul
Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya
yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
B.
Idiologi Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran
dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka
menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat
‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya
untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan
mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan
kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran
pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung
mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya
kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun
teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok
al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa
min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ
fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan
tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa
minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali
menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap
politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan
sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman
Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah
menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada
menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’
walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga
Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran
terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik
(kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah
Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya
itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi,
tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’ dan penghasilannya dibagi-bagi antara para
veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu
menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas
kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini.
‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara
terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain
‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah
tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’
dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara
berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah
terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak
memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan
‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan
ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa
mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada
‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur
yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary
sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa
pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama
disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab
Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar
mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum
dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran,
tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa
persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa
mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang
yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan
sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan
ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.
B.
SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami
susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dari semua mahasiswa dan dosen yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan
lebih untuk mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam
mengembangkan hadits demi terwujudnya implimentasi dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
·
Amin,
Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975.
·
Al-Asy’ari,
Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln,
Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.
·
Abu
Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah,
terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.
·
Ghazaly,
‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda
al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar