BAB
I
PENDAHULUAN
Pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan
menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah
Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas
peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998.
Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda
dalam konteks keindonesiaan dari gugusan
sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar
terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus
melalui peran pemuda di masa lalu.
Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena
pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam
perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat,
dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari
lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi
daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi
nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari
daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan
kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan
bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan
cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan
secara bersama.
BAB
II
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MENJADI LOKOMOTIF
Mometum Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun
1908 merupakan titik yang sangat
signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu,
serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda
dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dari momentum
Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang
sangat signifikan bagi investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan
peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang
heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan
Indonesia pascakemerdekaan.
Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki
posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru
bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir
seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda,
seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut
sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks keindonesiaan dari gugusan sejarah Indonesia
yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya
sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran
pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus
terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya
dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin
berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari
lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi
daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi
nasionalismeIndonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari
daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan
kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa
yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan
cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan
secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya
bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta
sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah.
Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya
tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu yang memersepsi lahan sosial
Indonesia dalam bingkai homogenisasi. Pola tersebut selanjutnya menempatkan
entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah ancaman
bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan
homogenisasi tersebut dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit
terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja
pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik
sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan
bangunan sejarah suatu bangsa. Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu
berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang
berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam
posisi yang kondusif. Kerap dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan
kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah Sehingga muncul
kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan
wajah nasionalisme yang lebih baik.
Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan
kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya.
Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas
daerah tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi
takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya
mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi
nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada
dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan
kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya
rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan
sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.
sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.
Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif,
yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis
yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme
sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan
nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme
baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi
berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum
menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu berada dalam
tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli,
semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua
kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas,
dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru
Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good
society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan
gerak masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam
apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya
seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat
manusia atas persamaan.
Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka
memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan
kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai
civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara
maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun
lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep
nasionalisme.
Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita
harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa
bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh
kekuatan bangsa, termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi
keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin,
seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar
kebangsaan yang menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan
nasionalisme kita.
BAB III
PENUTUP
A
KESIMPULAN
Mometum Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun
1908 merupakan titik yang sangat
signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu,
serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda
dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya
bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta
sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah.
Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya
tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu yang memersepsi lahan sosial
Indonesia dalam bingkai homogenisasi.
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli,
semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua
kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas,
dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad,Drs,H, Kewarganegaraan, CV Pustaka Setia, Bandung.
2000
Suparta, Munzier, Kebangkitan Nasionalisme,
Jakarta: PT. Raja Grafindo, persada.2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar